Priviledges

015-2025

Priviledges saya saat kecil bukan dilahirkan dari keluarga kaya yang orang tua saya punya duit. Ataupun orang tua yang punya network orang-orang terkenal. Orang tua saya tidak kaya, tidak juga miskin. Ada beberapa hal yang jadi priviledges saya saat dibesarkan yaitu dari lingkungan yang sehat. Berikut adalah priviledges saya sewaktu kecil:

Dibesarkan dari keluarga utuh

Orang tua saya harmonis, bukan broken home, tidak juga poligami. Saya dibesarkan oleh keluarga dan lingkungan monogami. Om dan tante saya monogami plus tidak ada yang broken home. Kakek dan nenek saya juga. Yang ada dibenak saya adalah menikah dengan satu wanita dan itu sampai akhir. Saya tidak pernah melihat atau mendengar perselingkuhan, poligami, atau perceraian sewaktu masih kecil. Saat merantau ke Jakarta, di usia saya yang ke 18 saya baru tahu kalau ada laki-laki yang punya 2 pacar, atau suami yang punya 4 istri. Sesuatu yang baru buat saya. Sama halnya seperti saya takjub melihat pertama kali kereta api karena di Kalimantan tidak ada kereta api. Yang saya yakini adalah 1 cowo, 1 cewe, menikah sampai akhir. Titik. Karena masa kecil saya dibesarkan dengan lingkungan keluarga besar dan tetangga seperti itu. Saya juga baru tahu saat itu kok ada keluarga yang pisah. Ini benar-benar sesuatu yang bikin saya kaget atau gegar budaya. Culture shock.

Dibesarkan di lingkungan yang tidak pernah mengeluh

Keluarga saya, dan keluarga besar saya termasuk om dan tante, kakek dan nenek tidak pernah mengeluh dan woles dengan keadaan. Saya punya om dan tante yang hidupnya menyambung dari hari ke hari, tetapi tidak pernah keluar kata mengeluh atau memaki keadaan. Apa yang didapat hari itu disyukuri. Apa yang menimpa hari itu dijalani. Apa yang diperoleh digunakan. Tidak ada penyesalan atas keputusan dan tidak ada keluar kata-kata keluhan meratapi nasib. Hidup ya dijalani saja. Sepupu saya kalau kurang uang, narik ojek atau jualan, tidak pernah mengeluh honornya kurang atau gaji mengajar sebagai guru sedikit. Apa yang diterima diambil saja, kalau kurang berarti kerjain yang lain buat tambahan income. Benar-benar dibesarkan di lingkungan keluarga yang nrimo ing pandum tanpa ngedumel, tanpa sakit hati atas keadaan, woles aja dengan hidup, dijalani. Ini yang bikin saya bingung saat pindah ke Jakarta, banyak banget yang mengeluh kurang ini, kurang itu, sampai kesel saya dengernya. Soalnya saya hidup di lingkungan yang sangat woles dengan keadaan dan gak mempermasalahkan apapun. Kalau kurang gaji ya nambah sampingan, kalau dapat sesuatu ya disyukuri, ketimbang misuh-misuh yang gak menghasilkan apa-apa.

Hidup dengan cukup

Orang tua saya tidak kaya, tidak juga miskin, tetapi berkecukupan. Saya butuh apa, orang tua saya mengusahakan ada. Ini yang membuat saya sekarang memperlakukan anak saya seperti itu. Mereka minta apa, saya usahakan ada. Saya memperlakukan anak saya sebagai ratu yang selalu diutamakan keinginannya, bukan selalu ditolak. Jadi kelak dia juga akan mendapat pendamping raja. Kecuali memang keinginannya nggak terlalu penting atau tidak sesuai usia mereka saya akan tunda.

Dibesarkan dengan pengetahuan Islam yang cukup dan beragam

Saya dibesarkan dengan orang tua yang sholat 5 waktu. Saya kaget saat melihat ada orang yang tidak sholat Jumat saat pertama kali ke pulau Jawa. Saat khatib naik mimbar, masih ada yang nongkrong di halaman rumah dan gitaran. Ada yang menanyakan kamu sholat 5 waktu nggak? Lah bukannya itu sama kayak menanyakan kamu makan tiap hari nggak? Gitu pikir saya saat gegar budaya. Ternyata banyak juga yang tidak sholat full saat saya merantau. Aneh yang lama kelamaan jadi terbiasa. Selain itu, Abah saya yang ikut Muhammadiyah dan Mama yang ikut pemerintah (NU) saat puasa ya biasa saja.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *