Regulasi Artificial Intelligence

021-2025

Artikel ini merupakan seri dari Kecerdasan Artifisial yang saya kumpulkan dari beberapa sumber termasuk bahan kuliah saya.

Beberapa tahun ke belakang Artificial Intelligence berkembang sangat pesat, sehingga beberapa negara, organisasi (G7, PBB, Council of Europe dan OECD ), dan swasta membuat kebijakan, prinsip, regulasi, dan aturan terkait ini. Sebelum kita membahas regulasi Artificial Intelligence ini, kita akan membahas mengapa AI berkembang pesat dan perlu mendapat perhatian dari negara dan tantangan apa saja jika AI ini diregulasi.

Mengapa AI Berkembang Pesat

Pesatnya perkembangan AI ini dikarenakan beberapa hal.

Pertama, daya komputasi yang berkembang sangat pesat baik itu CPU, GPU, maupun TPU. Dengan besarnya daya komputasi ini, memungkinkan komputer dapat “berpikir” dengan cepat dengan algoritma yang ada.

Kedua, berkembangnya algoritma Machine Learning. Dalam 1 dekade ke belakang, algoritma machine learning berkembang sangat pesat, terutama ground-breaking Transformer yang memanfaatkan attention-mechanism.

Ketiga, data yang banyak. Dengan tumbuhnya data dalam 2 dekade ke belakang, makan informasi yang bisa di-consume oleh komputer untuk belajar semakin banyak dan beragam. Algoritma tanpa data yang banyak membuat AI tidak berguna, bahkan dapat menimbulkan halusinasi.

Keempat, perhatian dan investasi di AI yang banyak. Pada awalnya, OpenAI bergerak secara terbuka dan kolaborasi dari semua orang. Ini juga didukung oleh resource yang banyak dari investor seperti Elon Musk. Dengan ground breaking dan kesuksesan ini, OpenAI kemudian tertutup dan tidak terbuka lagi. Namun, di sisi lain global tech lain berlomba menghasilkan teknologi AI ini. AI kemudian didrive oleh banyak vendor tech ketimbang pemerintah dan publik.

Mengapa AI Harus Diregulasi

Hampir sebagian besar teknologi AI saat ini didrive oleh perusahaan besar ketimbang pemerintah dan publik. Selain itu, AI memiliki kekhawatiran terhadap risiko yang dibawanya, termasuk miss-used AI atau penyalahgunaan AI.

Risiko yang dibawa oleh AI seperti privacy violation, bias algorithm karena tidak transparannya model, security vulnerability, dari sisi sosial seperti job displacement, uncontrollable AI – terutama AI yang mengontrol manusia, sampai dengan economic equality. Sementara di sisi lain, penyalahgunaan AI seperti deep-fake, dan miss-leading information juga perlu dikontrol.

Tantangan Regulasi AI

Sebagaimana National Cybersecurity Strategy, AI memiliki tantangan untuk diregulasi dan bagaimana untuk menyeimbangkan antara kepentingan negara atau kepentingan jurisdiksi dengan inovasi dan investasi. Hal ini dikarenakan AI masih berada pada tahap awal perkembangannya. Meregulasi AI secara ketat akan menghambat perkembangannya, sementara di sisi lain, tidak meregulasi AI menimbulkan chaos. Bagaimana secara global AI ini diregulasi.

Pertama, AI diregulasi dalam berbagai bentuk baik itu berupa statuta, executive orders, regulatory frameworks, atau prinsip. Tidak ada bentuk yang sama bagaimana AI diregulasi. AI diregulasi baik itu secara ketat atau eksplisit dalam bentuk undang-undang seperti di Uni Eropa, atau dalam bentuk implisit hanya berupa prinsip-prinsip penggunaan dan pengembangan AI seperti di Jepang dan UK. Di Indonesia, AI diregulasi dalam bentuk Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial, sementara aspek teknis dan detilnya dibiarkan terbuka. Etika AI dibuat dalam bentuk hanya surat edaran yang tidak termasuk ke dalam regulasi formal.

Kedua, AI didefinisikan secara berbeda. Perbedaan sudut pandangan terhadap AI ini membuat regulasi AI terinterpretasi secara beragam. Uni Eropa mendefinisikan AI sebagai “AI systems” yaitu “a machine-based system designed to operate with varying levels of autonomy and that may exhibit adaptiveness after deployment and that, for explicit or implicit objectives, infers, from the input it receives, how to generate outputs such as predictions, content, recommendations, or decisions that can influence physical or virtual environments”, definisi yang hampir sama dengan OECD.

Ketiga, AI diatur secara fleksible. Di beberapa negara, AI didefinisikan secara terbuka dan umum, sehingga pengaturannya menjadi “double-edges sword”. Di satu sisi, negara ingin AI tumbuh sehingga mengatur tidak secara eksplisit, namun di sisi lain hal ini menimbulkan ruang kosong dan ketidakpastian di sisi bisnis. Dalam jangka panjang, ruang regulasi ini dibiarkan fleksibel agar AI dapat terus tumbuh dalam kerangka koridor atau prinsip-prinsip dan etika yang ditentukan.

Keempat, regulasi AI intertwined atau saling berikat dengan regulasi lainnya seperti data protection, copyright, dan financial regulation (lihat Kode Etik AI untuk sektor Finansial, OJK). Hal ini membuat menyusun regulasi untuk AI harus mengharmoniskan di beberapa aspek tersebut.

Kelima, AI merupakan teknologi yang tumbuh. Dengan perkembangan teknologi AI yang sangat cepat, maka regulasi di bidang AI selalu berkejaran dengan pertumbuhan teknologi ini. Sehingga, membuat regulasi ini terlalu maju, bisa menimbulkan regulasi yang hanya mengatur konsep dan menghalangi inovasi.

Apa yang harus dilakukan Indonesia?

Regulasi AI di Indonesia memang dinilai belum cukup luas untuk mengatur AI. Direktorat Artificial Intelligence dan Teknologi Terbaru di Kementerian Komunikasi dan Digital merupakan inisiatif baru di pemerintahan baru Presiden Prabowo yang diharapkan menjadi orkestrator AI di Indonesia baik dari sisi regulasi, talenta AI, serta riset dan teknologi.

Dari sisi regulasi, Indonesia dapat membuat sandbox regulation AI, sementara di sisi talenta AI Indonesia dapat menyusun dan mengintegrasikan AI di dalam pendidikan baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Dari sisi riset. Indonesia bisa membuat Rencana Induk Riset AI yang memuat building block pencapaian AI di 2045.

Selain itu, hendaknya regulasi AI bersifat fleksible dan pro-inovasi yang tidak membatasi ruang gerak inovasi; menerapkan hard-law dan sof-law secara bersamaan, dan bersifat sektoral.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *